Tuesday, June 30, 2015

Sorotan Ilmiah Tentang Hakikat dan Strategi Kelompok Sesat "Hizbut Tahrir"


oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.

Bagi orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang kelompok Hizbut Tahrir, tentu akan menganggap tujuan mereka yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah sebagai cita-cita mulia. Namun bila mengkaji lebih jauh siapa mereka, siapa pendirinya, bagaimana asas perjuangannya dan sebagainya, kita akan tahu bahwa klaim mereka ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah ternyata tidak dilakukan dengan cara-cara yang Islami.


*** Apa Itu Hizbut Tahrir? ***

Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial (Mengenal HT, hal. 1).

Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hal. 16)

Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan:

“Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”(Strategi Dakwah HT, hal. 40-41).

Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul. Allah menegaskan: “Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sesembahan selain-Nya’.” (An-Nahl: 36)

Rasulullah juga menegaskan:
“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 45)


*** Tujuan dan Latar Belakang ***

Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hal. 2, 54 )

Para pembaca, tahukah anda apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi?

Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini –tanpa kecuali– termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim.

Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. (Lihat Mengenal HT, hal. 79)

Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi.  
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah."

Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.”
(Majmu’ Fatawa, 18/282)

Para pembaca, mengapa –menurut HT– harus satu khilafah? Jawabannya adalah, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Sehingga merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hal. 49-55)

Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.

Al-’Allamah Ibnul Azraq Al-Maliki, Qadhi Al-Quds (di masanya) berkata: “Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 37)

Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 34)

Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)

Demikian pula yang dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347), cet. Darul Hadits.


*** Kapan HT Didirikan? ***

Kelompok sempalan ini didirikan di kota Al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah [1] dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahan agama.Dia adalah Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon (Lihat Mengenal HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyqi).

Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?!

Wallahul musta’an.


*** Landasan Berpikir Hizbut Tahrir ***

Landasan berpikir HT adalah Al Qur‘an dan As Sunnah, namun dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah dan para shahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka.

Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, Asy-Syaikh Al-Albani, menjuluki mereka dengan Al-Mu’tazilah Al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru).

Padahal jauh-jauh hari, shahabat ‘Ali bin Abi Thalib telah berkata: “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”[2] (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)

Demikian pula menolak hadits ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin.

Di antaranya adalah: Keistimewaan Nabi Muhammad atas para nabi, syafaat Rasulullah untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-shirath), telaga dan timbangan amal di hari kiamat, munculnya Dajjal, munculnya Al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa u di akhir zaman, dan lain sebagainya.

Adapun dalam masalah fiqih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Di antaranya adalah: boleh mencium wanita non muslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 139-140)



** Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah **

Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:

## 1. Mendirikan Partai Politik ##

Dengan merujuk Surat Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif) (Lihat Mengenal HT hal. 3).

Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk partai. (Lihat Mengenal HT hal. 22, 23)

Adapun pendalilan mereka dengan Surat Ali ‘Imran ayat 104 tentang wajibnya mendirikan partai politik, maka merupakan pendalilan yang jauh dari kebenaran. Adakah di antara para shahabat Rasulullah, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka yang berpendapat demikian?!

Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlomba untuk mendirikan parpol! Namun kenyataannya mereka tidak seperti itu. Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!

Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parpol terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam.

## 2. Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat) ##

Berinteraksi dengan umat (Tafa’ul Ma’al Ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:

Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hal. 24). Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyyah (fanatisme) dan loyalitas terhadapHT.

-Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya.

Taqiyuddin An-Nabhani berkata: “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hal. 24, Terjun ke Masyarakat, hal. 7)

Betapa ironisnya, Rasulullah memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memporakporandakan kekuatannya. Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri mereka:

“Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hal. 35-36)

Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka (Lihat Mengenal HT, hal. 25).
Demikianlah yang mereka munculkan. Namun kenyataannya, di dalam upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari negara-negara kafir. (Lihat Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 5)

Keempat: Para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam. (Terjun Ke Masyarakat, hal. 7, Mengenal HT, hal. 16,17).

Para pembaca, inilah hakikat manhaj Khawarij yang diperingatkan Rasulullah. Tidakkah diketahui bahwa Rasulullah menjuluki mereka dengan “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka”!

Semakin parah lagi di saat mereka tambah berkomentar: “Bahkan inilah bagian terpenting dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.” (Mengenal HT, hal. 3)

Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah : “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.” Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?” Rasulullah bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman z, 3/1476, no. 1847)?!


Demikian pula, tidakkah mereka renungkan sabda Rasulullah : “Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi, jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya (nasehatnya).” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin , dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)?!

Namun sangat disayangkan, HT tetap menunjukkan sikap kepala batunya, sebagaimana yang mereka nyatakan:

“Sikap HT dalam menentang para penguasa adalah menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan, menyerang dan menentang. Tidak dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka, simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik tanpa melihat lagi hasil yang akan dicapai dan tidak terpengaruh oleh kondisi yang ada.” (Mengenal HT, hal. 26-27)

Mereka gembar-gemborkan slogan “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata haq di hadapan penguasa yang zalim.” Namun sayang sekali mereka tidak bisa memahaminya dengan baik.

Buktinya, mereka mencerca para penguasa di mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan. Padahal kandungan kata-kata tersebut adalah menyampaikan nasehat “di hadapan” sang penguasa, bukan di mimbar-mimbar dan lain sebagainya.

Tidakkah mereka mengamalkan wasiat Rasulullah yang diriwayatkan shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin di atas?!

Dan jangan terkecoh dengan ucapan mereka, “Meskipun demikian, Hizb telah membatasi aktivitasnya dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menentang para penguasa maupun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.” (Mengenal HT, hal. 28). Karena mereka pun akan menempuh cara tersebut pada tahapannya (tahapan akhir).

## 3. Pengambilalihan Kekuasaan (Istilaamul Hukmi) ##

Tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala aktivitas HT. Dengan tegasnya Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan:

“Hanya saja setiap orang maupun syabab (pemuda) Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat, kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyyah.” (Terjun ke Masyarakat, hal. 22-23)

Dalam tahapan ini, ada dua cara yang harus ditempuh:

1) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Islam, di mana sistem hukum Islam ditegakkan, tetapi penguasanya menerapkan hukum-hukum kufur, maka caranya adalah melawan penguasa tersebut dengan mengangkat senjata.

2) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Kufur, di mana sistem hukum Islam tidak diterapkan, maka caranya adalah dengan Thalabun Nushrah (meminta bantuan) kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan). (Lihat Strategi Dakwah HT, hal. 38, 39, 72)

Subhanallah! Lagi-lagi prinsip Khawarij si “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka” yang mereka tempuh.

Wahai HT, ambillah pelajaran dari perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Bahwasanya Nabi mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud melalui pengingkaran tersebut suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah I dan Rasul-Nya.

Jika ingkarul mungkar mengakibatkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan walaupun Allah membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya.

Hal ini seperti pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak, sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa…

Dan barangsiapa merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar maupun yang kecil, niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan tidak sabar atas kemungkaran, sehingga berusaha untuk menghilangkannya namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/6)

Mungkin HT berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak keluar dari empat keadaan:

1. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

2. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.

3. Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.

4. Seseorang yang mengatakan: “ Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini hal. 21-22)


Demikian pula, kalaulah sang penguasa itu terbukti melakukan kekufuran, maka yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penegakan hujjah dan nasehat kepadanya, bukan pemberontakan.

Adapun dalih mereka dengan hadits Auf bin Malik :

Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (membe-rontak)?” Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian!” (HR. Muslim, 3/1481, no. 1855)

bahwa “mendirikan shalat di tengah-tengah kalian” adalah kinayah dari menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, sehingga –menurut HT– walaupun seorang penguasa mendirikan shalat namun dinilai belum menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, maka dianggap kafir dan boleh untuk digulingkan!

Ini adalah pemahaman sesat dan menyesatkan.

Para pembaca, tahukah anda dari mana ta‘wil semacam itu? Masih ingatkah dengan landasan berpikir mereka? Ya, ta`wil itu tidak lain dari akal mereka semata… Bukan dari bimbingan para ulama. Wallahul musta’an.

Akhir kata, demikianlah gambaran ringkas tentang HT dan selubung sesatnya tentang khilafah. Semoga menjadi titian jalan untuk meraih petunjuk Ilahi. Amin.

__________________

[1] Menolak sifat-sifat Allah I dengan ta`wil, kecuali beberapa sifat saja. (ed)
[2] Lanjutan riwayat tersebut: “Dan sungguh aku telah melihat Nabi mengusap pungggung khufnya.” (ed)

sumber : http://asysyariah.com/kelompok-hizbut-tahrir-dan-khilafah-sorotan-ilmiah-tentang-selubung-sesat-suatu-gerakan/

Menyibak Hakikat Kesesatan Hizbut Tahrir



Oleh: Ustadz Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah

TAQDIM

Dakwah Ilallah adalah jalan semua rasul dan para pengikut mereka, untuk mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan kepada cahaya yang terang benderang, dari kekufuran kepada keimanan, dari kesyirikan kepada tauhid, dan dari neraka ke surga.

Dakwah para rasul inilah yang wajib diikuti oleh setiap juru dakwah, agar dakwah mereka membuahkan hasil yang baik, barang siapa berdakwah tanpa memakai asas-asas dakwah para rasul maka dakwah itu tidak bernilai sama sekali di sisi Allah dan menjadikan daya upaya yang dicurahkan padanya sia-sia.

Di antara jama’ah-jama’ah dakwah yang menyelisihi manhaj para rasul adalah Hizbut Tahrir yang mengonsentrasikan dakwahnya untuk merebut kekuasaan dan mendirikan Khilafah Islamiyyah (negara Islam) dan mengabaikan sisi-sisi penting dari syari’at Islam seperti aqidah, akhlak, dan yang lainnya.

Mengingat begitu gencarnya dakwah mereka pada hari ini dan di sisi lain banyak dari kaum muslimin yang belum mengetahui hakikat dakwah mereka maka insya Allah di dalam bahasan kali ini akan kami paparkan studi kritis terhadap manhaj kelompok ini dengan menukil dari tulisan-tulisan mereka sendiri dan penjelasan-penjelasan para ulama tentang hakikat mereka.


SEJARAH PENDIRIAN HIZBUT TAHRIR

Kelompok ini didirikan oleh Taqiyuddin bin Ibrahim an-Nabhani. Dia dilahirkan tahun 1909 M di Desa Ijzam yang terletak di sebelah selatan Kota Jifa, Yordania. Dia banyak terpengaruh oleh kakeknya, Yusuf Isma’il an-Nabhani yang dikenal dengan pemikiran sufinya dan permusuhannya kepada Salafush Shalih sebagaimana di dalam banyak tulisan-tulisannya seperti Syawahidul Haqqi fi Istighatsah Bisayyidil Khalqi.

Pada tahun 1952 dia mengajukan permohonan resmi kepada Kementerian Dalam Negeri Yordania untuk mendapatkan izin bagi partainya yang bernama Hizbut Tahrir al-Islami, tetapi permohonannya ditolak. Sesudahnya, kelompok Hizbut Tahrir melakukan aktivitas politik secara rahasia.

Taqiyuddin an-Nabhani meninggal pada tanggal 10 Desember 1977 di Lebanon dengan meninggalkan karangan yang cukup banyak yang menjadi referensi acuan gerakan dan pemikiran Hizbut Tahrir, di antaranya :

– Nizhamul Islam (Peraturan hidup dalam Islam)
– Nizhamul Hukmi fil Islam (Sistem Pemerintahan Islam)
– Nizhamul Iqtishadi fil Islam (Sistem Ekonomi Islam)
– Nizhamul Ijtima’i fil Islam (Sistem Pergaulan Dalam Islam)
– At-Takattul Hizbi (Pembentukan Partai)
– Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah (Kepribadian Islam)
– Nida’ul Har ila Alamil Islami (Seruan Kepada Dunia Islam)


Dan beberapa kitab lainnya. Kitab-kitab diatas banyak sekali menyelisihi pemahaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan terpengaruh oleh filsafat Mu’tazilah (lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 282 dan Mausu’ah al-Muyassarah hlm. 344). 


RASIONALISME HIZBUT TAHRIR

Merupakan hal yang dimaklumi bahwa sumber kesesatan dari setiap kelompok bid’ah adalah karena mereka meninggalkan Sabilil Mukminin yaitu jalan para sahabat di dalam memahami dan mengamalkan Islam. Allah Ta’ala berfirman :

"Dan barang siapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam neraka Jahanam, itulah seburuk-buruk tempat kembali." (QS. an-Nisa [4]:115).

Kalimat (Sabiilul mu’miniin) artinya adalah jalan orang-orang mukmin, yang pertama kali masuk dalam makna ini adalah para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana dalam sabdanya :

“Dan sesungguhnya umatku ini akan berpecah belah menjadi 73 kelompok, semuanya di neraka kecuali satu kelompok, ia adalah al-Jama’ah.” Di dalam riwayat lain, “Ia adalah jalan yang aku tempuh dan para sahabatku.”[1]

Dari sinilah jelas bagi kita bahwa biang keladi kesesatan semua kelompok dalam Islam, sejak dahulu sampai sekarang, yaitu bahwasanya mereka tidak menghiraukan ayat dan hadits-hadits di atas sehingga mereka menyeleweng dri jalan yang lurus dan memilih jalan-jalan yang sesat. Mereka mengandalkan akal dan pemikiran mereka tanpa merujuk kepada pemahaman sahabat dan ulama yang mengikuti jalan mereka. Padahal, jalan keselamatan adalah manhaj para sahabat dan as-salaf ash-shalih yaitu orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik.

Kelompok Hizbut Tahrir di dalam memahami Islam secara terang-terangan meninggalkan pemahaman para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menggantinya dengan pemahaman pemimpin pertama mereka dan pendiri kelompok mereka yaitu Taqiyuddin an-Nabhani yang banyak terpengaruh oleh pemikiran Mu’tazilah.
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah
berkata : “Dari sini kita meletakkan satu titik dalam dakwah Hizbut Tahrir bahwasanya mereka terpengaruh oleh Mu’tazilah dalam dasar pijakan mereka mengenai jalan keimanan (thariqul iman). Jalan keimanan (thariqul iman) ini adalah sebuah judul pembahasan mereka yang terdapat dalam kitab Nizhamul Islam yang dikarang oleh pemimpin mereka, yaitu Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah. Saya (Syaikh al-Albani) pernah berjumpa dengannya (Taqiyuddin an-Nabhani) beberapa kali. Saya mengenalnya dengan baik dan mengenal dengan sangat baik jalan yang ditempuh oleh Hizbut Tahrir. Karena itu, Insya Allah saya berbicara berdasarkan ilmu tentang segala hal yang dakwah mereka tegak di atasnya.”[2]

Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya, Nizhamul Islam hlm. 10 :
“Dan berdasarkan atas hal itu maka iman kepada Allah adalah datang dari jalan akal, dan tidak boleh tidak bahwa iman ini terjadi dari jalan akal. Maka adalah dengan hal itu tonggak utama yang berdiri di atasnya keimanan kepada seluruh perkara-perkara gaib dan semua yang Allah kabarkan kepada kita.”

Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab mereka Nidaun Harrun ilal Muslimin min Hizbut Tahrir dari website resmi mereka :
“Maka Islam sebagai pemikiran-pemikiran maka asasnya adalah akal.”

Demikianlah, Hizbut Tahrir banyak terpengaruh dengan kelompok Mu’tazilah yang merupakan pionir semua kelompok rasionalis dalam Islam. Mu’tazilah menjadikan akal sebagai hakim secara mutlak. Mereka mempromosikan akal setinggi-tingginya, sebagaimana sering terungkap dalam perkataan gembong-gembong mereka:


Al-Qadhi Abdul Jabbar
menyebutkan urutan dalil-dalil syar’i menurutnya, “Yang pertama adalah akal, karena dengannya bisa dibedakan baik dan buruk, dan dengan akallah diketahui bahwa Kitab adalah hujjah, demikian juga sunnah dan ijma’!!” (Fadhlul I’tizal hlm. 139).

Amr bin Ubaid [3] menyebut hadits Shadiqul Mashduq dan berkomentar, “Seandainya aku mendengar hadits ini langsung dari A’masy pasti akan kudustakan, seandainya aku mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakannya pasti akan kutolak! dan seandainya aku mendengar Allah mengatakannya maka akan kukatakan, ‘Bukan atas ini Engkau mengambil mitsaq (perjanjian) dari kami.”!!

Az-Zamakhsyari
berkata, “Berjalanlah dalam agamamu di bawah panji akal, jangan engkau merasa cukup dengan riwayat dari Fulan dan Fulan.”! (Athwaqu Dzahab fil Mawaizh wal Khuthab hlm. 28).
Demikianlah kaum rasionalis. Mereka menjadikan akal semata sebagai sumber ilmu mereka, mengagungkan akal, dan menjadikan iman dan al-Qur’an tunduk di bawah akal. (Majmu Fatawa Syaikhul Islam 5/338).

Syubhat mereka ini telah dikikis habis dan dihancurkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya yang agung yang berjudul Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wan Naql yang tersusun dalam 10 jilid, kemudian diringkas oleh muridnya al-Allamah Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya Shawa’iq Mursalah yang tersusun dalam dua jilid. Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya tersebut 54 argumen dalam membantah syubhat mereka ini, diantaranya :

– Perkataan mereka bahwa akal adalah landasan naql adalah batil karena apa yang dikabarkan oleh Allah dan Rasul-Nya adalah shahih dari dirinya, entah kita ketahui dengan akal kita atau tidak kita ketahui, entah dibenarkan oleh manusia atau didustakan oleh mereka, sebagaimana Rasulullah adalah haq meskipun didustakan oleh manusia, dan sebagaimana wujud Allah dan keberadaan nama-nama dan sifat-sifat-Nya adalah haq, entah akal kita mengetahui atau tidak.

– Mendahulukan akal atas naql adalah cela pada akal dan naql sekaligus, karena akal telah bersaksi bahwa wahyu lebih tahu dibandingkan akal. Jika hukum akal didahulukan atas hukum wahyu maka itu adalah cela pada persaksian akal, jika persaksiannya batal maka tidak boleh diterima ucapannya, maka mendahulukan akal atas wahyu adalah cela pada akal dan wahyu sekaligus.

– Syari’at diambil dari Allah dengan perantaraan malaikat dan Rasul-Nya, dengan membawa ayat-ayat, mukjizat-mukjizat, dan bukti-bukti atas kebenarannya, hal ini diakui oleh akal


Lalu bagaimana perkataan Allah pencipta semesta alam ditentang dengan pemikiran-pemikiran Plato, Aristoteles, Ibnu Sina dan pengikut-pengikut mereka?

Bagaimana perkataan seorang Rasul ditentang dengan perkataan filosof, padahal filosof wajib mengikuti Rasul, bukan Rasul yang mengikuti filosof, karena Rasul diutus oleh Allah, dan filosof adalah umatnya.[4]


MENOLAK HADITS AHAD DALAM MASALAH AQIDAH

Hizbut Tahrir termasuk kelompok Inkarus Sunnah, mereka menolak hadits-hadits Ahad di dalam masalah aqidah, mereka berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 3, “Terdapat perbedaan antara hukum-hukum syariat dan perkara-perkara aqidah dari sisi dalil. Hukum-hukum syar’iyyah boleh ditetapkan dengan dalil zhanni dan boleh dengan dalil qath’i kecuali aqidah, karena harus ditetapkan dengan dalil qath’i tidak boleh ditetapkan dengan dalil zhanni sedikitpun. Aqidah tidak boleh diambil melainkan harus dengan dalil yakin, apabila dalilnya qath’i maka wajib diimani dan mengingkarinya adalah kafir, namun jika dalilnya zhanni maka haram bagi tiap muslim mengimaninya…, maka wajib menetapkan aqidah dengan dalil qath’i…“
Hizbut Tahrir berkata di dalam kitab ad-Dusiyah hlm. 4:
“Dan hadist ahad adalah zhanni.”

KAMI KATAKAN : Sesungguhnya dalil-dalil dari Kitab, Sunnah, dan amalan sahabat, dan perkataan para ulama menunjukkan tentang wajibnya berhujjah dengan hadits ahad dalam syari’at Islam tanpa memperbedakannya dalam ‘aqidah ‘ilmiyyah atau ahkam ‘amaliyyah, dan bahwasanya pendapat yang membedakan antara keduanya adalah pendapat yang bid’ah yang tidak pernah dikenal oleh salaf. Karena itulah al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah berkata :

Pendapat yang membedakan antara keduanya adalah pendapat yang batil dengan kesepakatan umat karena umat tidak henti-hentiny berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam khabar-khabar ilmiyyah yang berhubungan dengan aqidah, sebagaimana mereka berhujjah dengan khabar-khabar amaliyyah, terutama hukum-hukum amaliah yang mengandung kabar dari Allah bahwasanya Allah mensyari’atkan ini dan itu, mewajibkannya, dan meridhainya sebagai agama, … Tidak henti-hentinya para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan ahli hadits dan sunnah berhujjah dengan hadits-hadits ahad dalam masalah-masalah sifat, qadar, asma, dan ahkam, … (Mukhtashar Shawa’iq Mursalah 2/412).

Al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata :
“Kaum muslimin sejak dahulu hingga sekarang telah sepakat atas menetapkan hadits ahad dan berhenti padanya.” (ar-Risalah hlm. 457).

Berkata al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah, “Telah tersebar secara luas tentang amalan sahabat dan tabi’un akan khabar (hadits) ahad; tanpa ada pengingkaran, bahkan sudah terjadi ittifaq untuk menerimanya.” (Lihat Fathul Bari 13/234)

Berkata al-Imam Ibnu Abil Izz al-Hanafi rahimahullah “Tentang hadit ahad, telah sepakat umat menerimanya, baik sebagaimana amal dan wajib untuk dibenarkan; dan juga memberi faedah ilmu yaqin di kalangan ulama umat ini. Hal tersebut karena hadits ahad merupakan bahagian dari hadits mutawatir, dan tidak terdapat perbedaan di kalangan salaf umat ini.” (Lihat Syarh al-Aqidah ath-Thahawiyyah hlm. 399-400-takhriij Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah).

Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Seandainya argumen tidak tegak dengan khabar ahad maka tidaklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu ke Yaman seorang diri, demikian juga ini dikatakan pada hadits-hadits dalam Shahihain yang mengabarkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu, dan Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu sebagai da’i-da’i yang diutus untuk mendakwahkan Islam ke negeri-negeri tertentu dalam keadaan sendirian. Merupakan hal yang tidak diragukan lagi bahwa keseluruhan termasuk di dalamnya masalah-masalah aqidah.”[5]

MENOLAK TAQDIR ALLAH TA’ALA

Taqiyyuddin an-Nabhani
berkata di dalam kitabnya, Syakhshiyyah Islamiyyah 1/71-72
“Perbuatan-perbuatan ini-yaitu perbuatan-perbuatan manusia-tidak ada hubungan sama sekali dengan qadha’, karena manusia adalah yang melakukan sendiri perbuatan-perbuatan ini dengan kehendak dan pilihannya, dan berdasarkan atas hal itu maka fi’il-fi’il ikhtiyariyyah tidak masuk di bawah qadha’.”
Dia Nizhamul Islam :
“Maka digantungkannya pahala atau hukuman dengan petunjuk dan kesesatan menunjukkan bahwa petunjuk dan kesesatan keduanya termasuk perbuatan manusia dan keduanya bukan dari Allah.”

Perkataan ini jelas sekali menyelisihi nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah yang menyatakan bahwa segala sesuatu telah telah ditakdirkan Allah Ta’ala.

Allah Ta’ala berfirman :
Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan takdir-takdir (ukuran-ukurannya) dengan serapi-rapinya. (QS. al-Furqan [25] :2)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu. (QS. ash-Shaffat [37] :96)
Dan Allah Ta’ala berfirman :
Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu dengan takdir. (QS. al-Qamar [54] : 49).

MENGADOPSI PEMAHAMAN KHAWARIJ

Hizut Tahrir mengikuti pemahaman Khawarij di dalam masalah takfir dan bolehnya khuruj (pemberontakan, red) kepada penguasa muslim.
Di dalam kitab Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hlm. 36 mereka berkata, “Hizb tidak berkompromi dengan para penguasa dan tidak memberikan loyalitas kepada mereka, termasuk konstitusi dan perundang-undangan mereka walau dengan alasan kelancaran dakwah. Sebab syara’ mengharamkan mempergunakan sarana yang haram untuk memenuhi suatu kewajiban. Sebaliknya hizb mengoreksi dan mengkritik penguasa dengan tegas. Hizb menganggap bahwa peraturan yang mereka terapkan itu adalah peraturan kufur sehingga harus dimusnakan dan diganti dengan hukum Islam. Hizb juga menganggap bahwa mereka pada hakikatnya adalah orang-orang yang fasik dan zalim…”

Dalam hlm. 37, “… Hizb juga menolak membantu mereka melakukan ishlah baik di bidang ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan maupun di bidang moral…”

Dalam hlm. 42, “Aktivitas hizb adalah menentang para penguasa di negara-negara Arab maupun negara-negara Islam lainnya. Mengungkapkan makar-makar jahat mereka, mengoreksi dan mengkritik mereka…”

Inilah pemahaman Hizbut Tahrir yang menyelisihi perintah Allah kepada setiap muslim agar taat kepada waliyyul amr-sebagaimana dalam firman-Nya :
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kalian. (QS. an-Nisa [4]:59),
Demikian juga Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu memerintahkan agar selalu taat kepada waliyyul amr, tidak membatalkan bai’at dan sabar atas kecurangan para penguasa :

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru kami maka kami membai’atnya, di antara yang diambil atas kami bahwasanya kami berbai’at atas mendengar dan taat dalam keadaan yang lapang dan sempit, dalam keadaan sulit dan mudah, dan atas sikap egois atas kami, dan agar kami tidak merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda, ‘Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas dan nyata yang kalian punya bukti di hadapan Allah.” (Shahih Muslim 1709).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata, “Ini adalah perintah agar selalu taat walaupun ada sikap egois dari waliyyul amr, yang ini merupakan kezaliman darinya, dan larangan dari merebut kekuasaan dari pemiliknya, yaitu larangan dari memberontak kepadanya, karena pemiliknya adalah para waliyul amr yang diperintahkan agar ditaati, dan mereka adalah orang-orang yang memiliki kekuasaan untuk memerintah”[6]

Hizbut Tahrir juga mengatakan bahwa seluruh negeri Islam saat ini adalah Darul Kufur wal Harb,
sebagaimana dalam buku mereka, Manhaj Hizbit Tahrir fit Taghyir hlm. 5, “Adapun kondisi negeri-negeri yang hidup didalamnya kaum muslimin saat ini di seluruh negeri, adalah darul kufr bukan darul Islam.”
 
Asy-Syaikh Abdurrahman ad-Dimasyqy berkata dalam kitabnya. Hizbut Tahrir Munaqasyah Ilmiyyah li Ahammi Mababdi’il hizbi wa Raddu Ilmi Mufashshal Haula Khabari Wahid hlm. 47.
- Aku bertanya kepada salah seorang di antara mereka (Hizbut Tahrir), ‘Bagaimanakah (menurutmu) dengan Makkah dan Madinah? Apakah termasuk Darul Iman ataukah Darul Kufur wal Harb??’


Dia menjawab, ‘Termasuk Darul Kufur dan Harb!’

Aku berkata lagi, ‘Lantas apakah boleh aku berhaji ke darul Kufur?? Lantas dimanakah Darul Iman jika Makkah dan Madinah termasuk Darul Kufur!!’

Dia pun kebingungan …

- Ada seorang juga bertanya kepada mereka (Hizbut Tahrir), ‘Apakah ada Darul Islam di dunia saat ini?’


Mereka menjawab, “Tidak ada!!’

Ia bertanya lagi, “Saya ingin berhijrah, ke manakah gerangan aku harus berhijrah (jika tidak ada Darul Islam)??’


mereka kebingungan menjawabnya.”

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda :
“Tidaklah terputus hijrah hingga terputusnya taubat dan tidak terputus taubat hingga terbitnya matahari dari baratnya (hari kiamat).”[7]

Dari Isham al-Muzani radhiyallahu ‘anhu bahwasanya dia berkata :
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mengutus suatu pasukan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, jika kalian melihat masjid atau mendengar adzan maka janganlah kalian membunuh seorang pun.’”[8]

Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah
berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa sekadar keberadaan sebuah masjid di suatu negeri maka ini cukup menjadi dalil atas keislaman penduduknya, walaupun belum didengar adzan dari mereka, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan pasukan-pasukannya agar mencukupkan dengan salah satu dari dua hal : adanya masjid atau mendengar adzan.” (Nailul Authar 7/287)

Berdasarkan uraian diatas maka jika mendengar adzan di suatu negeri atau didapati suatu masjid, dan penduduknya muslim, maka negeri tersebut adalah darul Islam, meskipun para penguasanya tidak menerapkan syari’at Islam.

Hal inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah beliau berkata, “Keberadaan suatu tempat sebagai negeri kafir atau negeri iman atau negeri orang-orang fasik, bukanlah sifat yang tidak terpisah darinya, tetapi ia adalah sifat yang insidental sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap jengkal bumi yang penduduknya orang-orang mukmin yang bertakwa maka tempat tersebut adalah negeri para wali Allah di saat itu. Setiap jengkal tanah yang penduduknya orang-orang fasik, maka ia adalah negeri kefasikan di saat itu. Dan jika para penduduknya selain yang kita sebutkan tadi, dan berubah dengan selain mereka, maka negeri itu adalah negeri mereka.”[9]


PENEGAKAN DAULAH DENGAN MENGORBANKAN SYARI’AT ISLAM

Hizbut Tahrir memprioritaskan penegakan Daulah Islamiyyah dan kekuasaan ketimbang perbaikan aqidah dan tauhid. Mereka telah menjadikan penegakan daulah saat ini hukumnya paling wajib dan paling urgen (mendesak). Mereka berpandangan bahwa segala kemerosotan, kehancuran, dan kekacauan yang melanda umat saat ini dikarenakan tidak adanya payung yang melindungi umat dari kaum kuffar, yakni daulah khilafah. Maka semenjak Kesultanan Utsmani runtuh, pada tahun 1924 di Turki, maka umat Islam semuanya dalam keadaan berdosa dan umat wajib ‘ain mengembalikannya.

Taqiyuddin an-Nabhani berkata di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah 2/92 :
Dan demikianlah maka seluruh kamu muslimin sejak tahun 1924 yaitu sejak hilangnya Khilafah Islamiyyah dari Turki maka mereka mati dan akan mati jahiliyyah.”


Maka mereka mengonsentrasikan segala daya dan upaya untuk meraih kembali kekuasaan. Namun, di sisi lain mereka banyak meremehkan syari’at-syari’at Islam.

Lihatlah, bagaiman tokoh-tokoh mereka tidak menampakkan penampilan Islam sama sekali. Mereka cukur habis jenggot-jenggot mereka. Mereka tidak memperhatikan shalat jama’ah dan yang lainnya dari syari’at Islam. Jika engkau ingatkan mereka tentang hal itu maka mereka mengatakan bahwa hal itu akan mereka lakukan kalau sudah tegak Daulah Islam!! (Lihat Jama’at Islamiyyah hlm. 288-289).


Padahal Daulah Islam adalah sarana untuk menegakkan syari’at Islam, pantaskah jika seorang muslim berjuang mewujudkan daulah Islam dengan jalan mengorbankan syari’at Islam?!


Daulah adalah anugerah Allah kepada kaum muslimin karena keteguhan mereka melaksanakan kewajiban-kewajiban seperti jihad, melaksanakan syari’at dan perkara-perkara yang disyari’atkan Allah kepada mereka. Anugerah inilah yang diperoleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, karena kesabaran mereka dalam menempuh manhaj dakwah yang haq, menghadapi kekejian dan kebrutalan kaum musyrikin. Allah menolong Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, memenangkan din mereka, dan pengokohkan mereka di muka bumi, sebagai perwujudan janji Allah dalam Kitab-Nya :

Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apa pun dengan aku. (QS. an-Nur [24] : 55)[10]


PENDAPAT-PENDAPAT GANJIL HIZBUT TAHRIR

Sesungguhnya pendapat-pendapat Hizbut Tahrir yang ganjil amatlah banyak sekali dan bertebaran di dalam kitab-kitab mereka, di antaranya :

Hizbut Tahrir memperbolehkan berjabat tangan lelaki dan perempuan yang bukan mahram. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, “Seorang pria pada dasarnya boleh menjabat tangan seorang wanita, demikian pula sebaliknya, seorang wanita boleh menjabat tangan seorang pria tanpa ada penghalang di antara keduanya.” Hal ini juga diperkuat dengan nusyrah sual jawab mereka no. 24/Rabi’ul Wal/1390 atau 29/5/1970, no.8/Muharram/1390 atau 16/3/1970 dan nusyrah al-ajwibah wal as’ilah tanggal 26/4/1970.

Hizbut Tahrir memperbolehkan memandang wajah wanita, karena menurut mereka wajah tidak termasuk aurat. Taqiyuddin berkata dalam Nizhamul Ijtima’i fil Islam, padahal “Allah Ta’ala berfirman : ‘Katakanlah kepada mukmin laki-laki hendaklah mereka menundukkan pandangan mereka.’ (QS. an-Nur [24]:30), maksudnya tentu adalah menundukkan pandangan terhadap wanita pada selain wajah dan kedua telapak tangan, sebab memandang wajah dan telapak tangan adalah mubah.”

Hizbut Tahrir menghalalkan musik dan nyanyian (walau diiringi alat musik) sebagaimana dalam nusyrah jawab wa sual no. 9 (20/Shafar/1390 atau 26/4/1970), “Suara wanita tidak termasuk aurat dan nyanyian mubah hukumnya serta mendengarkannya mubah. Adapun hadits-hadits yang warid (datang) mengenai larangan musik adalah tidak shahih haditsnya. Yang benar adalah musik tidak haram dan hadits-hadits yang memperbolehkan musik adalah shahih.”

Dan masih banyak lagi pendapat-pendapat aneh Hizbut Tahrir lainnya (Lihat al-Jama’at al-Islamiyyah hlm. 345-348).


PENUTUP

Inilah sedikit yang bisa kami paparkan tentang penyimpangan-penyimpangan Hizbut Tahrir, sebetulnya masih banyak hal-hal lain yang belum kami cantumkan karena keterbatasan tempat, semoga yang kami paparkan di atas bisa menjadikan kewaspadaan kepada kita semua tentang bahaya kelompok ini, dan sekaligus menyadarkan saudara-saudara kami yang hingga saat ini masih terperdaya dengan kelompok ini serta membuka mata mereka tentang jati diri kelompok ini. Semoga Allah selalu menunjukkan kita kepada jalan yang lurus, yaitu jalannya para nabi, para shiddiqin, syuhada, dan shalihin. Amin


=================================================
[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunan-nya 2/503-504 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah ash-Shahihah 203, 204, dan 1492).

[2] “Hizbut Tahrir Mu’tazilah judud” dari Majalah Salafiyyah, Riyadh, Edisi Kedua, tahun 1417 H, hlm. 17-32.

[3] Taqiyuddin an-Nabhani di dalam kitabnya Syakhshiyyah Islamiyyah memuji Amr bin Ubaid ini dan mengatakan bahwa dia tidak memiliki penyelewengan sama sekali dalam aqidah.

[4] Lihat bahasan “Kedudukan Akal di Dalam Islam” di dalam Majalah Al-Furqon IV/4 rubrik Manhaj.

[5] Al-Hadits Hujjatun Binafsihi fil ‘Aqaid wal Ahkam hlm. 59. untuk pembahasan lebih rinci dalam masalah ini silakan melihat bahasan “Hadits Ahad dalam Sorotan” didalam Majalah Al Furqon VIII/Edisi Khusus rubrik Manhaj.

[6] Mihhajus Sunnah 3/395 dan untuk bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silahkan melihat bahasan “Renungan Bagi Para Pemberontak” di dalam Majalah AL FURQON V/6 rubrik Manhaj

[7] Diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya 2/312 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah di dalam Irwaul Ghalil 5/33 no. 1208.

[8] Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya 3/448, Abu Dawud dalam Sunan-nya 2635, dan Tirmidzi dalam Jami-nya 1545, dan dilemahkan oleh Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Dha’if Sunan Abu Dawud hlm. 202.

[9] Majmu Fatawa 18/282 dan untuk bahasan yang lebih rinci tentang masalah ini silakan melihat bahasan “Darul Islam dan Darul Kufur” di dalam Majalah Al-Furqon IV/9 Rubrik Manhaj.

[10] Lihat kitab Manhajul Anbiya’ fid Da’wah ila Allah oleh Syaikh al-Allamah Dr. Rabi’bin Hadi al-Madkhali hafidhahullah


Sumber: Majalah AL FURQON Edisi 4 no. 118 thn ke 11 Dzulqo’dah 1432H/Okt-Nov 2011M , http://ibnuramadan.wordpress.com/2011/12/27/menyibak-hakikat-hizbut-tahrir/